Rabu, 29 Februari 2012

DNR


Do not resucitate atau jangan diresusitasi. Itulah maksud dari DNR. Aku mengenal istilah DNR ini setelah menonton salah satu episode Grey’s anatomy. Dimana di episode tersebut diceritakan seorang pasien yang sudah tidak ada harapan hidup, tinggal menunggu ajal menjemput saja, jadi misalnya ada emergency, tidak perlu dilakukan resusitasi. Dan agar status DNR itu diketahui oleh semua orang yang ada di rumah sakit itu, terutama dokter dan perawat, maka dipasanglah tanda DNR di dinding di atas kepala tempat tidur si pasien. Jadi misal terjadi code, tidak perlu dilakukan tindakan resusitasi.

DNR diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena memang sudah ada harapan hidup walaupun pasien itu masih sadar, misal pasien dengan kanker stadium empat parah, jadi rasanya tidak perlu adanya resusitasi. Lalu misalnya keadaan sakit parah, misal si pasien sudah dengan semua alat bantu penopang hidup, misalnya keadaan umumnya drop, maka tidak perlu dilakukan resusitasi. Namun, untuk menentukan status DNR ini diperlukan konsultasi dan kesepakatan para dokter yang merawat pasien dan tentu saja persetujuan dari keluarga pasien. Karena apabila walaupun menurut para dokter yang merawat si pasien bahwa keadaan pasien sudah tidak memungkinkan untuk dapat survive dan status DNR diperlukan, tetapi keluarga pasien tidak menghendaki status DNR tersebut, maka status DNR tidak dapat diberikan. Karena hal itu dapat dianggap neglecting patient, dan pihak keluarga dapat menuntut dokter yang merawat pasien dan rumah sakit tempat pasien dirawat. Jadi sebelum menentukan DNR, maka keluarga pasien perlu diberitahu tentang keadaan pasien. Tetapi terkadang, keluarga pasien sendiri yang meminta status DNR, walaupun pasien masih sadar. Pertimbangan mereka biasanya karena mereka tidak ingin pasien mengalami kesakitan, mengingat bagaimanapun juga keadaan pasien sudah parah, atau karena pasien sudah lanjut usia. Karena apabila kita ingat dan bayangkan proses resusitasi itu sebenarnya memang menyakitkan. Bayangkan saja tubuh yang sudah sakit parah atau renta diberikan kompresi jantung, atau bahkan diberikan DC shock, pasti sakit sekali. makanya terkadang keluarga pasien yang meminta DNR alias dibiarkan meninggal dengan tenang.

Nah, ceritanya aku pernah punya pasien dengan keadaan parah. Waktu itu aku masih hajj duty di mina al jasser hospital, aku bertugas shift malam 12 jam, dari 8 malam hingga 8 pagi, di ICU dengan kasus seorang pasien lanjut usia yang kecapekan setelah melakukan rukun-rukun ibadah haji. Tetapi ternyata pasien itu juga mempunyai masalah jantung dan pernafasan, ditambah usianya sekitar 80 tahunan, jadi keadaannya benar-benar buruk.

Sebelumnya status pasien itu masih biasa-biasa saja, maksudnya ya kalau terjadi code ya, perlu dilakukan resusitasi. Kemudian sekitas jam 10 malam, para dokter yang merawat melakukan grand round mendiskusikan kasus pasien satu per satu, hingga tibalah pasienku itu. Karena aku memang bertugas merawat pasien tersebut, maka aku duduk sambil mendokumentasikan keadaan pasienku itu, dari apa yang aku tahu baik melalui inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi, dan tentu saja mechanical ventilator beserta semua alat-alat pendukungnya. Lalu salah seorang dokter, yang merupakan konsultan, mengatakan bahwa pasien tersebut sudah tidak ada harapan, mengingat usianya yang lanjut dan diagnosisnya yang membuat prognosisnya buruk, jadi pasien itu lebih baik ditentukan sebagai kasus DNR. Setelah para dokter itu selesai dengan pasienku, aku pun bertanya kepada ICU resident, apakah status pasien itu benar DNR, dan kalau memang DNR, apakah aku perlu memberi tanda DNR. Dan ICU resident tersebut mengiyakan pertanyaanku. Maka aku pun menulis DNR besar-besar di sebuah kertas, kemudian aku pasang di atas kepala tempat tidur pasien, seperti yang aku ingat dari episode Grey’s anatomy waktu itu. dan tidak lupa semuanya aku dokumentasikan di dalam file milik pasien itu, mulai dari grand round, hingga penulisan tanda DNR itu. Ingat, di keperawatan, semua harus didokumentasikan dengan lengkap. Dan aku termasuk perawat yang suka menuliskan keadaan pasien panjang lebar dan lengkap di file pasien, khususnya pasien-pasien dengan keadaan yang ‘rame’ seperti ini, dengan semua alat bantu pernafasan, alat penyokong hidup. Ah, aku benar-benar penulis cerita yang baik kadang-kadang.

Setelah terpasang tanda DNR besar-besar itu, setiap dokter yang melakukan round dan tiba di pasienku, hanya akan lewat saja, tentu saja setelah bertanya padaku apakah memang pasien itu memang untuk DNR. Dan dengan percaya diri dan meyakinkan aku jawab memang pasien itu untuk DNR. Ah, aku memang bisa sangat percaya diri dan meyakinkan kalau aku tahu keadaan pasien yang aku tangani. Jadi semua dokter itu percaya dan lewat.

Sampai akhirnya tibalah jam tujuh pagi, di mana seorang konsultan yang ternyata juga kepala ICU melakukan grand round diikuti semua dokter yang bertugas. Kemudian dokter konsultan itu ‘meledak’ setelah melihat file pasien yang kosong, maksudnya di halaman dr’s progress notes semua dokter menulis sama, yaitu same, DNR. Kemudian di catatan perawat juga semua sama, tidak ada yang berbeda, karena status DNR itu. Karena menurut dokter konsultan itu, pasien itu bukanlah kasus DNR, karena DNR berarti tidak melakukan apapun untuk pasien tersebut, sedangkan dokter konsultan itu mengatakan ingin melakukan semua yang masih bisa dilakukan. Kemudian dokter itu bertanya siapa yang menulis DNR besar-besar seperti itu, kemudian setelah tahu bahwa aku yang menulis adalah aku, maka aku pun dicarinya. Dia tanya apa benar aku yang menulis tanda DNR itu, dan atas perintah siapa aku memasang tanda DNR itu. Mungkin kalau dulu, aku akan takut sekali ditanya seperti itu, karena pemasangan tanda DNR itu ternyata salah besar dan benar-benar masalah, bagaimana kalau ternyata pasien itu masih bisa ditolong, tetapi karena gara-gara tanda DNR itu tidak ada tindakan apapun untuk pasien itu dan akhirnya pasien itu benar-benar tidak tertolong, benar-benar celaka 12. Dan biasanya dokter akan cuci tangan dan menyalahkan perawat, karena memang perawat sering dikambinghitamkan. Apalagi kalau perawat yang bersangkutan tidak tahu dan menunjukkan ketakutan, pasti habis sudah. Tetapi entah mengapa, aku tidak merasa takut waktu itu, walaupun yang bertanya seorang konsultan dan kepala ICU, karena aku tahu jalan cerita DNR itu. jadi dengan percaya diri aku mengaku kalau aku memang yang menulis DNR besar-besar dan memasangnya di kepala tempat tidur pasien, tetapi aku melakukannya setelah aku melihat dan mendengar sendiri grand round dokter sebelumnya, dan setelah memastikannya kepada ICU resident bahkan menegaskan kembali apakah aku perlu memasang tanda DNR itu. jadi dalam masalah ini, aku tidak bisa disalahkan, kalau mau menyalahkan ya para dokter itu. kemudian setelah mendengar jawabanku, dokter konsultan itu pun bertanya apakah aku tahu siapa para dokter itu. untung aku tahu nama para dokter itu, setidaknya ICU resident yang namanya dr. Ahmad, dan konsultan sebelumnya yang bernama dr. Adel, kalau misal aku tidak tahu nama para dokter itu, aku bisa dihabisi, karena para dokter itu tidak akan ada yang mengaku, mereka berlindung dibalik ketidaktahuan perawat akan nama mereka. Oh ya, mungkin terasa lucu, masa perawat tidak tahu nama-nama para dokter yang bekerja bersamanya. Tetapi memang demikian keadaannya, namanya juga hajj duty, sifatnya sementara, hanya selama kurang dari dua minggu, jadi terkadang benar-benar tidak tahu setiap nama dokter atau perawat yang bekerja bersama di rumah sakit itu. begitu mendengar nama-nama para dokter tersebut, dokter konsultan yang marah itu langsung menuju ICU resident yang namanya dr. Ahmad itu dan langsung memberikan kuliah yang lama, yang benar-benar memalukan, karena semua dokter dan perawat bisa melihat kuliah tersebut. aku jadi merasa tidak enak karenanya, tetapi kalau aku tidak memberitahukan nama dokter itu, aku yang dihabisi, jadi sesekali memikirkan diri sendiri itu ada baiknya juga bukan, setidaknya untuk diri sendiri. Setelah dimarahi oleh di konsultan itu, dr. Ahmad datang padaku dan langsung memarahiku.

‘ya sister, inti karban, why you told dr. Jammal (dokter konsultan yang marah itu) I am the one who told you about DNR for that patient? I am not the consultant, I am just a resident, how can I said that patient is for DNR?

Waduh, aku dimarahinya, aku tidak terima hal itu. dan aku langsung menjawab dr. Ahmad itu.

‘doctor, and I am a nurse, how I will write that DNR tag without your permition. I wrote that tag after I asked you first. And I know that you are not the one who decide DNR for that patient. That was dr. Adel. I know that because I was there during grand round last shift. And I told dr. Jammal about that also. So he will not blame you only.’

Mendengar aku bilang kalau aku juga memberikan nama dr. Adel, dr. Ahmad akhirnya merasa lega. Karena itu artinya dia terbebas dari masalah. Dan dr. Ahmad pun langsung bilang, ‘oh, you told him it was dr. Adel, really?’

‘yes, doctor. So, don’t worry, dr. Jammal will ask dr. Adel.’

‘Ok then, sister, thank you for that.’

Mendengar dia bilang terima kasih, aku langsung merasa di atas angin, aku langsung balik marah ke dr. Ahmad.

‘and doctor, you have no right to tell I am karban. I will not take that. Because I just do what I need to do.’

‘oh, I know, sister, I am sorry for calling you karban. I am sorry really.’

‘Ok, doctor.’

Tentang pembelaan diri, kemudian mengatakan tidak terima dibilang karban, dan permintaan maaf itu, mungkin kalau di Indonesia akan jadi masalah besar. Si perawat hanya bisa diam ketika disalahkan, kemudian dokter pun ngeloyor pergi dan merasa superior, lalu perawat akan menangis kesal dan mengatai si dokter di belakangnya dan kemudian membencinya seumur hidup. Tetapi tidak begitu halnya denganku. Aku akan langsung mengklarifikasi, kalau memang salah aku akan mengaku salah, tetapi kalau aku benar, aku akan langsung membela diri, dan mengatakan tidak terima dengan disalahkan seperti itu. dan akhirnya masalah akan clear, dan tidak ada sakit hati, malah biasanya aku dan dokter yang bersangkutan akan bekerja sebagai mitra dengan baik, kalau kata orang barat sana ‘no heart feeling’.

Oh ya, karban itu bahasa arab, yang kalau aku tidak salah, artinya adalah rusak, tetapi bisa juga berarti gila ketika bercanda dengan teman yang sudah kenal, tetapi dalam kasus ini, karban berarti kurang ajar. Makanya kalau misal ketika bercanda, saling bicara karban, aku tidak akan marah. Tetapi untuk kasus ini, aku tidak bisa terima disebut karban, karena apa yang aku lakukan atas persetujuan dari dokter dan aku sudah mendengar ketika grand round tentang status DNR itu.

Jadi, setelah kasus DNR dan karban itu, dr. Ahmad malah mengenal aku dan bekerja sama dengan baik denganku. Malah akhirnya seperti agak takut denganku, dia tidak berani menyinggungku, karena katanya, diam-diam aku bisa galak juga, hmm, jadi ingat pepatah ‘di balik air sungai yang tenang ada arus deras di bawahnya’, rasanya itu sesuai dengan diriku.

Oh ya, dari kasus DNR itu hal-hal apa saja yang bisa ditarik pelajaran. Pertama, kita harus selalu tahu dengan apa yang kita lakukan, lalu sebagai perawat jangan pernah lupa SELALU DOKUMENTASIKAN apapun yang kita tahu dan dengar, karena hal itu adalah senjata utama pembelaan diri apabila ada dokter atau siapapun yang dengan seenaknya ingin menyalahkan kita (perawat). Kedua, jangan merasa gentar dan takut selama kita itu benar, tunjukkan bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuai prosedur dan jelaskan dengan percaya diri, karena sedikit saja kita menunjukkan ketidakyakinan dengan apa yang kita katakan, hal itu bisa menjadi bumerang. Ketiga, jangan diam saja dan menganggap bukan masalah besar kalau ada orang yang mengatakan sesuatu yang tidak baik tentang kita, karena hal itu akan semakin merendahkan diri kita sendiri. Tunjukkan kalau kita (perawat) juga punya harga diri dan tidak bisa disalahkan seenaknya saja. jadi kalau kita bisa melakukan semua itu, orang tidak akan menginjak atau merendahkan kita, tentunya semua pembelaan diri itu, kita lakukan dengan sikap dan nada bicara dan kata-kata yang baik dan sepantasnya. Jadi tidak akan menimbulkan kebencian dan orang lain tersinggung. Kalau kita bisa melakukan semua itu dengan baik, orang lain malah akan respect ke kita. Benar tidak?

Selasa, 28 Februari 2012

Kenapa jadi perawat?


Ketika aku masih kanak-kanak dulu, aku tidak tahu ingin jadi apa. Lalu setelah kelas satu MI, kalau ditanya ingin jadi apa, aku jawab ingin jadi guru, karena mungkin merasa kagum dengan ibu guru yang sabar dalam mendidik murid-muridnya. Lalu setelah mendapat pelajaran rukum islam, cita-citaku ingin pergi haji. Lalu kelas lima MI, cita-citaku berubah, aku ingin menjadi dokter, hanya berdasar karena aku merasa cukup pintar, karena aku selalu ranking satu, tidak memikirkan banyaknya biaya untuk menjadi dokter.

Lalu masuk SMP, ketika ditanya ingin menjadi apa, aku tidak ada bayangan. Dokter tidak lagi menjadi cita-citaku, karena aku mulai sadar bahwa orangtuaku tidak mungkin dapat menyekolahkanku untuk menjadi seorang dokter. Sedangkan menjadi guru, sudah lama aku lupakan. Tetapi lalu timbullah keinginanku untuk menjadi guru, hanya karena aku ingin membalas dendam kepada guruku di SMP. Di SMP dulu aku pernah mempunyai masalah dengan seorang guruku, seorang perempuan yang menyebalkan, setidaknya dulu aku berpikir seperti itu. Hingga membuatku ingin menjadi seorang guru, dengan harapan suatu hari nanti aku akan mengajar anak dari guruku tadi, dan aku akan memperlakukannya seperti ibunya memperlakukanku. Dan cita-cita itu setidaknya bertahan selama tiga tahun di SMP itu, dengan latar belakang dendam.

Kemudian SMA, aku berubah ingin menjadi ahli bahasa inggris, karena aku suka sekali dengan bahasa inggris. Tetapi aku juga ingin menjadi seorang akuntan, karena aku merasa cukup pintar dalam pelajaran akuntansi. Lalu guru akuntansiku menyarankan aku untuk mendaftar di STAN, tetapi sayang nilaiku tidak stabil, naik turun, jadi STAN tidak mungkin bagiku. Kelas tiga SMA, aku mendapat PMDK bahasa inggris dari UNES, tetapi karena di Semarang, almarhum bapak tidak menginjinkan, katanya khawatir kalau aku harus sendirian di Semarang sana. Jadi PMDK itu tidak aku ambil. Lalu setelah lulus SMA, aku ingin kuliah akuntansi, tetapi lagi-lagi almarhum bapak tidak mengijinkan, katanya takut aku tergoda dengan uang, lalu korupsi. Akhirnya aku masuk AKPER.

Mungkin karena memang aku ditakdirkan untuk menjadi seorang perawat, begitu lulus SMA, almarhum kakak tertuaku mendaftarkanku ke AKPER, dan almarhum bapak mengijinkan. Kata almarhum bapak, setelah beliau bertanya-tanya kepada temannya yang mengerti soal sekolah, kata temannya itu kalau jadi perawat itu suatu hari bisa ke amerika. Ditambah lagi kata almarhum bapak, jadi perawat itu bisa mendapat pahala yang banyak, karena perawat itu menolong orang yang sakit. Lalu ditambah kata almarhum kakak tertuaku, kalau lowongan perawat itu banyak, jadi aku tidak akan menganggur, tidak seperti sarjana-sarjana lainnya, yang banyak menganggur pada awalnya. Jadi, masuklah aku ke AKPER, yang merupakan bukan kemauanku sendiri, dan aku benar-benar tidak ada bayangan seperti apa kuliahnya pada awalnya.

Karena bukan kemauanku sendiri untuk kuliah keperawatan, maka semester pertamaku, sungguh mencengangkan. Nilai-nilaiku yang aneh bin ajaib, artinya sangat rendah, karena mengingat aku selalu mendapat nilai lumayan bahkan bagus, selama aku sekolah. Tetapi semester pertamaku itu benar-benar... Tetapi, untungnya aku berbenah diri, karena sebenarnya aku ini tipe orang yang tidak ingin kalah dari orang lain, jadi aku berusaha mengejar ketinggalanku, tetapi ya begitulah, nilai-nilai tidak seburuk semester pertamaku, tetapi karena semester pertamaku sudah seperti itu, jadi nilai akhirku tidak sebaik yang aku harapkan. Tetapi setidaknya aku lulus dengan nilai yang tidak memalukan, masih mendapat predikat sangat memuaskan.

Setelah lulus AKPER, aku punya keinginan yang aneh, yaitu aku tidak ingin bekerja di kotaku, tetapi aku ingin bekerja di Jakarta. Dengan alasan simpel, aku ingin mandiri. Karena terlalu sering menonton serial amerika, yang selalu menampilan kehidupan wanita karier yang mandiri, sepertinya menyenangkan. Tinggal sendiri, tidak perlu peduli dengan orang di sekitarmu, mau malas silakan, tidur seharian silakan, tidak ada yang protes. Apalagi selama ini aku merasa selalu tidak lepas dari orangtua dan kakak-kakakku, jadi aku ingin ke Jakarta.

Lalu sampailah aku di Jakarta, aku bekerja di sebuah rumah sakit yang bagus sekali, termasuk canggih, karena orang berduit saja yang bisa ke sana, seperti para pejabat, artis, dan golongan jetset lainnya. Dulu, aku selalu berorientasi, aku suka bekerja di tempat yang bagus, jadi ketika baru-baru masuk kerja, aku senang sekali, karena rumah sakitku itu kan bagus dan terkenal, dan juga ada perasaan bangga, karena aku yang dari kampung, bisa bekerja di rumah sakit sebagus itu. Tetapi ternyata bekerja di sana, capeknya minta ampun, ditambah rekan kerja yang menyebalkan, atau mungkin karena aku masih sangat muda, aku pun tidak tahan, dan keluar. Di rumah sakit itu, aku hanya bertahan selama empat bulan. Lalu aku bekerja di perusahaan asuransi, pekerjaan yang menyenangkan, dan rekan kerja juga menyenangkan, tetapi sayang kontrakku tidak diperpanjang, karena katanya perusahaan belum menambah karyawan. Jadi aku bekerja di sana hanya selama tiga bulan.

Lalu aku pun pulang kampung, mungkin selama tiga bulanan aku menganggur di rumah. Dulu begitu lulus kuliah, aku langsung kerja, sedangkan teman-temanku lainnya masih banyak yang menganggur. Lalu ketika aku menganggur di rumah, teman-temanku sudah bekerja semua. Tetapi ternyata semua itu mengantarkanku untuk kemudian bekerja di Saudi Arabia sebagai perawat selama empat tahun. Selama empat tahun, aku bisa umroh selama enam kali, dan haji sekali, juga bisa membiayai ibuku pergi haji. Dan tentunya materi lainnya walaupun tidak seberapa. Dan yang terakhir, aku bisa kuliah sendiri di UI untuk melanjutkan ke jenjang S1, dengan uangku sendiri. Walaupun ketika aku menulis ini, aku masih menganggur. Tetapi aku tetap bersyukur karenanya. Jadi setelah aku pikir, aku merasa beruntung karena aku menjadi seorang perawat, karena mungkin kalau aku tidak menjadi perawat, mungkin aku belum pernah naik pesawat terbang, umroh dan haji, menghajikan ibuku, beli ini dan itu, kuliah lagi, semua dengan uangku sendiri. Jadi, ternyata tidak buruk kok menjadi perawat. Jadi, kenapa tidak menjadi perawat?