Do not resucitate
atau jangan diresusitasi. Itulah maksud dari DNR. Aku mengenal istilah DNR ini
setelah menonton salah satu episode Grey’s
anatomy. Dimana di episode tersebut diceritakan seorang pasien yang sudah
tidak ada harapan hidup, tinggal menunggu ajal menjemput saja, jadi misalnya
ada emergency, tidak perlu dilakukan resusitasi. Dan agar status DNR itu
diketahui oleh semua orang yang ada di rumah sakit itu, terutama dokter dan
perawat, maka dipasanglah tanda DNR di dinding di atas kepala tempat tidur si
pasien. Jadi misal terjadi code,
tidak perlu dilakukan tindakan resusitasi.
DNR diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu,
misalnya karena memang sudah ada harapan hidup walaupun pasien itu masih sadar,
misal pasien dengan kanker stadium empat parah, jadi rasanya tidak perlu adanya
resusitasi. Lalu misalnya keadaan sakit parah, misal si pasien sudah dengan
semua alat bantu penopang hidup, misalnya keadaan umumnya drop, maka tidak
perlu dilakukan resusitasi. Namun, untuk menentukan status DNR ini diperlukan
konsultasi dan kesepakatan para dokter yang merawat pasien dan tentu saja
persetujuan dari keluarga pasien. Karena apabila walaupun menurut para dokter
yang merawat si pasien bahwa keadaan pasien sudah tidak memungkinkan untuk
dapat survive dan status DNR
diperlukan, tetapi keluarga pasien tidak menghendaki status DNR tersebut, maka
status DNR tidak dapat diberikan. Karena hal itu dapat dianggap neglecting patient, dan pihak keluarga dapat menuntut dokter yang merawat
pasien dan rumah sakit tempat pasien dirawat. Jadi sebelum menentukan DNR, maka
keluarga pasien perlu diberitahu tentang keadaan pasien. Tetapi terkadang,
keluarga pasien sendiri yang meminta status DNR, walaupun pasien masih sadar. Pertimbangan
mereka biasanya karena mereka tidak ingin pasien mengalami kesakitan, mengingat
bagaimanapun juga keadaan pasien sudah parah, atau karena pasien sudah lanjut
usia. Karena apabila kita ingat dan bayangkan proses resusitasi itu sebenarnya
memang menyakitkan. Bayangkan saja tubuh yang sudah sakit parah atau renta diberikan
kompresi jantung, atau bahkan diberikan DC
shock, pasti sakit sekali. makanya
terkadang keluarga pasien yang meminta DNR alias dibiarkan meninggal dengan
tenang.
Nah, ceritanya aku pernah punya pasien dengan keadaan parah.
Waktu itu aku masih hajj duty di mina al jasser hospital, aku bertugas shift
malam 12 jam, dari 8 malam hingga 8 pagi, di ICU dengan kasus seorang pasien
lanjut usia yang kecapekan setelah melakukan rukun-rukun ibadah haji. Tetapi ternyata
pasien itu juga mempunyai masalah jantung dan pernafasan, ditambah usianya
sekitar 80 tahunan, jadi keadaannya benar-benar buruk.
Sebelumnya status pasien itu masih biasa-biasa saja,
maksudnya ya kalau terjadi code ya, perlu dilakukan resusitasi. Kemudian sekitas
jam 10 malam, para dokter yang merawat melakukan grand round mendiskusikan
kasus pasien satu per satu, hingga tibalah pasienku itu. Karena aku memang
bertugas merawat pasien tersebut, maka aku duduk sambil mendokumentasikan
keadaan pasienku itu, dari apa yang aku tahu baik melalui inspeksi, auskultasi,
palpasi, perkusi, dan tentu saja mechanical
ventilator beserta semua alat-alat
pendukungnya. Lalu salah seorang dokter, yang merupakan konsultan, mengatakan
bahwa pasien tersebut sudah tidak ada harapan, mengingat usianya yang lanjut
dan diagnosisnya yang membuat prognosisnya buruk, jadi pasien itu lebih baik
ditentukan sebagai kasus DNR. Setelah para dokter itu selesai dengan pasienku,
aku pun bertanya kepada ICU resident, apakah status pasien itu benar DNR, dan
kalau memang DNR, apakah aku perlu memberi tanda DNR. Dan ICU resident tersebut
mengiyakan pertanyaanku. Maka aku pun menulis DNR besar-besar di sebuah kertas,
kemudian aku pasang di atas kepala tempat tidur pasien, seperti yang aku ingat
dari episode Grey’s anatomy waktu
itu. dan tidak lupa semuanya aku dokumentasikan di dalam file milik pasien itu,
mulai dari grand round, hingga penulisan tanda DNR itu. Ingat, di keperawatan, semua
harus didokumentasikan dengan lengkap. Dan aku termasuk perawat yang suka
menuliskan keadaan pasien panjang lebar dan lengkap di file pasien, khususnya
pasien-pasien dengan keadaan yang ‘rame’ seperti ini, dengan semua alat bantu
pernafasan, alat penyokong hidup. Ah, aku benar-benar penulis cerita yang baik
kadang-kadang.
Setelah terpasang tanda DNR besar-besar itu, setiap dokter
yang melakukan round dan tiba di pasienku, hanya akan lewat saja, tentu saja
setelah bertanya padaku apakah memang pasien itu memang untuk DNR. Dan dengan
percaya diri dan meyakinkan aku jawab memang pasien itu untuk DNR. Ah, aku
memang bisa sangat percaya diri dan meyakinkan kalau aku tahu keadaan pasien
yang aku tangani. Jadi semua dokter itu percaya dan lewat.
Sampai akhirnya tibalah jam tujuh pagi, di mana seorang
konsultan yang ternyata juga kepala ICU melakukan grand round diikuti semua
dokter yang bertugas. Kemudian dokter konsultan itu ‘meledak’ setelah melihat
file pasien yang kosong, maksudnya di halaman dr’s progress notes semua dokter
menulis sama, yaitu same, DNR. Kemudian di catatan perawat juga
semua sama, tidak ada yang berbeda, karena status DNR itu. Karena menurut dokter
konsultan itu, pasien itu bukanlah kasus DNR, karena DNR berarti tidak
melakukan apapun untuk pasien tersebut, sedangkan dokter konsultan itu
mengatakan ingin melakukan semua yang masih bisa dilakukan. Kemudian dokter itu
bertanya siapa yang menulis DNR besar-besar seperti itu, kemudian setelah tahu
bahwa aku yang menulis adalah aku, maka aku pun dicarinya. Dia tanya apa benar
aku yang menulis tanda DNR itu, dan atas perintah siapa aku memasang tanda DNR itu.
Mungkin kalau dulu, aku akan takut sekali ditanya seperti itu, karena
pemasangan tanda DNR itu ternyata salah besar dan benar-benar masalah,
bagaimana kalau ternyata pasien itu masih bisa ditolong, tetapi karena
gara-gara tanda DNR itu tidak ada tindakan apapun untuk pasien itu dan akhirnya
pasien itu benar-benar tidak tertolong, benar-benar celaka 12. Dan biasanya
dokter akan cuci tangan dan menyalahkan perawat, karena memang perawat sering
dikambinghitamkan. Apalagi kalau perawat yang bersangkutan tidak tahu dan
menunjukkan ketakutan, pasti habis sudah. Tetapi entah mengapa, aku tidak
merasa takut waktu itu, walaupun yang bertanya seorang konsultan dan kepala
ICU, karena aku tahu jalan cerita DNR itu. jadi dengan percaya diri aku mengaku
kalau aku memang yang menulis DNR besar-besar dan memasangnya di kepala tempat
tidur pasien, tetapi aku melakukannya setelah aku melihat dan mendengar sendiri
grand round dokter sebelumnya, dan setelah memastikannya kepada ICU resident
bahkan menegaskan kembali apakah aku perlu memasang tanda DNR itu. jadi dalam
masalah ini, aku tidak bisa disalahkan, kalau mau menyalahkan ya para dokter
itu. kemudian setelah mendengar jawabanku, dokter konsultan itu pun bertanya
apakah aku tahu siapa para dokter itu. untung aku tahu nama para dokter itu,
setidaknya ICU resident yang namanya dr. Ahmad, dan konsultan sebelumnya yang
bernama dr. Adel, kalau misal aku tidak tahu nama para dokter itu, aku bisa
dihabisi, karena para dokter itu tidak akan ada yang mengaku, mereka berlindung
dibalik ketidaktahuan perawat akan nama mereka. Oh ya, mungkin terasa lucu,
masa perawat tidak tahu nama-nama para dokter yang bekerja bersamanya. Tetapi memang
demikian keadaannya, namanya juga hajj duty, sifatnya sementara, hanya selama
kurang dari dua minggu, jadi terkadang benar-benar tidak tahu setiap nama
dokter atau perawat yang bekerja bersama di rumah sakit itu. begitu mendengar
nama-nama para dokter tersebut, dokter konsultan yang marah itu langsung menuju
ICU resident yang namanya dr. Ahmad itu dan langsung memberikan kuliah yang
lama, yang benar-benar memalukan, karena semua dokter dan perawat bisa melihat
kuliah tersebut. aku jadi merasa tidak enak karenanya, tetapi kalau aku tidak
memberitahukan nama dokter itu, aku yang dihabisi, jadi sesekali memikirkan
diri sendiri itu ada baiknya juga bukan, setidaknya untuk diri sendiri. Setelah
dimarahi oleh di konsultan itu, dr. Ahmad datang padaku dan langsung
memarahiku.
‘ya sister, inti
karban, why you told dr. Jammal (dokter konsultan yang marah itu) I am the one
who told you about DNR for that patient? I am not the consultant, I am just a
resident, how can I said that patient is for DNR?’
Waduh, aku dimarahinya, aku tidak terima hal itu. dan aku
langsung menjawab dr. Ahmad itu.
‘doctor, and I am a
nurse, how I will write that DNR tag without your permition. I wrote that tag
after I asked you first. And I know that you are not the one who decide DNR for
that patient. That was dr. Adel. I know that because I was there during grand
round last shift. And I told dr. Jammal about that also. So he will not blame
you only.’
Mendengar aku bilang kalau aku juga memberikan nama dr. Adel,
dr. Ahmad akhirnya merasa lega. Karena itu artinya dia terbebas dari masalah. Dan
dr. Ahmad pun langsung bilang, ‘oh, you
told him it was dr. Adel, really?’
‘yes, doctor. So, don’t
worry, dr. Jammal will ask dr. Adel.’
‘Ok then, sister,
thank you for that.’
Mendengar dia bilang terima kasih, aku langsung merasa di
atas angin, aku langsung balik marah ke dr. Ahmad.
‘and doctor, you have
no right to tell I am karban. I will not take that. Because I just do what I
need to do.’
‘oh, I know, sister, I
am sorry for calling you karban. I am sorry really.’
‘Ok, doctor.’
Tentang pembelaan diri, kemudian mengatakan tidak terima
dibilang karban, dan permintaan maaf itu, mungkin kalau di Indonesia akan jadi
masalah besar. Si perawat hanya bisa diam ketika disalahkan, kemudian dokter
pun ngeloyor pergi dan merasa superior, lalu perawat akan menangis kesal dan
mengatai si dokter di belakangnya dan kemudian membencinya seumur hidup. Tetapi
tidak begitu halnya denganku. Aku akan langsung mengklarifikasi, kalau memang
salah aku akan mengaku salah, tetapi kalau aku benar, aku akan langsung membela
diri, dan mengatakan tidak terima dengan disalahkan seperti itu. dan akhirnya
masalah akan clear, dan tidak ada
sakit hati, malah biasanya aku dan dokter yang bersangkutan akan bekerja
sebagai mitra dengan baik, kalau kata orang barat sana ‘no heart feeling’.
Oh ya, karban itu bahasa arab, yang kalau aku tidak salah,
artinya adalah rusak, tetapi bisa juga berarti gila ketika bercanda dengan
teman yang sudah kenal, tetapi dalam kasus ini, karban berarti kurang ajar. Makanya
kalau misal ketika bercanda, saling bicara karban, aku tidak akan marah. Tetapi
untuk kasus ini, aku tidak bisa terima disebut karban, karena apa yang aku
lakukan atas persetujuan dari dokter dan aku sudah mendengar ketika grand round
tentang status DNR itu.
Jadi, setelah kasus DNR dan karban itu, dr. Ahmad malah
mengenal aku dan bekerja sama dengan baik denganku. Malah akhirnya seperti agak
takut denganku, dia tidak berani menyinggungku, karena katanya, diam-diam aku
bisa galak juga, hmm, jadi ingat pepatah ‘di balik air sungai yang tenang ada
arus deras di bawahnya’, rasanya itu sesuai dengan diriku.
Oh ya, dari kasus DNR itu hal-hal apa saja yang bisa ditarik
pelajaran. Pertama, kita harus selalu tahu dengan apa yang kita lakukan, lalu
sebagai perawat jangan pernah lupa SELALU DOKUMENTASIKAN apapun yang kita tahu
dan dengar, karena hal itu adalah senjata utama pembelaan diri apabila ada
dokter atau siapapun yang dengan seenaknya ingin menyalahkan kita (perawat). Kedua,
jangan merasa gentar dan takut selama kita itu benar, tunjukkan bahwa apa yang
kita lakukan adalah sesuai prosedur dan jelaskan dengan percaya diri, karena
sedikit saja kita menunjukkan ketidakyakinan dengan apa yang kita katakan, hal
itu bisa menjadi bumerang. Ketiga, jangan diam saja dan menganggap bukan
masalah besar kalau ada orang yang mengatakan sesuatu yang tidak baik tentang
kita, karena hal itu akan semakin merendahkan diri kita sendiri. Tunjukkan kalau
kita (perawat) juga punya harga diri dan tidak bisa disalahkan seenaknya saja.
jadi kalau kita bisa melakukan semua itu, orang tidak akan menginjak atau
merendahkan kita, tentunya semua pembelaan diri itu, kita lakukan dengan sikap
dan nada bicara dan kata-kata yang baik dan sepantasnya. Jadi tidak akan
menimbulkan kebencian dan orang lain tersinggung. Kalau kita bisa melakukan
semua itu dengan baik, orang lain malah akan respect ke kita. Benar tidak?